Kehadiran artis-artis asing ke Indonesia tampaknya semakin tidak dapat dibendung lagi. Fenomena kehadiran artis asing ke Indonesia sebagai bagian dari industri musik panggung merupakan suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah industri musik di tanah air.
Pada saat orde lama mendatangkan artis asing dapat digolongkan sebagai tindakan melawan pemerintah. Hal itu disebabkan kebijakan pemerintah Soekarno melarang musik Barat yang digolongkan sebagai musik Ngak Ngik Ngok. Jangankan mendatangkan, memainkan lagu-lagu Barat saja dapat dikenakan hukuman penjara, seperti yang di alami band legendaris Koes Plus di Jakarta dan Bharata band di Surabaya.
Beberapa penyanyi lainnya harus bolak-balik diinterogasi kejaksaan. Musik pada saat itu lebih mewujud sebagai alat politik, yaitu menentang neokolim.
Wujud tersebut masih nampak pada masa peralihan dari orde-lama ke orde-baru. Pada masa peralihan tersebut ABRI banyak memegang peran bagi perkembangan musik panggung di Indonesia. Peran tersebut di antaranya melalui program Panggung Prajurit. Suatu program pertunjukan musik di berbagai daerah untuk mengintegrasikan ABRI dengan rakyat dalam menghadapi komunis. Wujud politik dalam musik di sini diartikan sebagai pembalikan nilai. Nilai-nilai yang dominan anti-Barat pada masa Soekarno dibalikan oleh ABRI. Dalam Panggung Prajurit, para artis banyak menyanyikan lagu-lagu populer, era Soekarno dikenal dengan musik hiburan, yang pernah dilarang pemerintah. Pada masa peralihan ini banyak menimbulkan keraguan pada masyarakat mengenai eksistensi musik Barat di Indonesia. Apakah sekarang masyarakat Indonesia boleh memainkan lagu-lagu Barat atau unsur-unsur musik yang merusak?
Keraguan masyarakat segera terjawab ketika ABRI melalui BKS-Kostrad mengadakan kerjasama dengan Hotel Indonesia mengadakan pertunjukan band Blue Diamonds ke beberapa daerah di Indonesia dalam suatu rangkaian tur musik. Hal itu berlangsung dari Desember 1965 sampai Januari 1966. Pada pertengahan 1960-an grup musik asal Belanda ini sedang berada dalam puncak popularitas internasionalnya. Para pemain Blue Diamonds adalah pemuda-pemuda kelahiran Depok dan Cimahi, Jawa Barat.
Blue Diamonds dapat dikatakan sebagai artis Barat yang pertama kali datang ke Indonesia setelah Soekarno runtuh. Dan satu-satunya artis asing yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kedatangannya ke Indonesia sangat berarti bagi proses pembalikan nilai yang dilakukan ABRI, dari orde-lama yang membatasi segala hal berbau Barat ke orde Baru yang tidak anti-Barat.
Pada perkembangan selanjutnya kehadiran artis-artis asing dalam panggung-panggung musik di Indonesia mulai sering ditampilkan. Hal itu lebih terasa pada masa awal tahun 1970-an. Ketika Indonesia mengalami tingkat perekonomian yang semakin membaik seiring dengan Boom Minyak. Pada era ini, kehadiran artis asing ke Indonesia tidak lagi mewujud sebagai politik melainkan sebagai bisnis.
Eforia orde-baru yang membolehkan musik Barat dan peningkatan ekonomi yang terjadi saat itu dapat dikatakan sebagai kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan industri musik di Indonesia. Termasuk industri musik pertunjukan. Anak-anak muda berlomba mendirikan grup band dengan berkiblat ke Barat. Hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan pun menjadi ajang pertunjukan. Selain menghadirkan artis dalam negeri tidak jarang mereka menghadirkan artis luar negeri. Selain sebagai selingan, kedatangan artis asing juga mempunyai daya jual yang tinggi.
Kedatangan artis asing tidak dapat dilepaskan adanya akses untuk menghadirkan artis-artis asing yang dibuka oleh anak-anak muda Indonesia yang menggilai musik. Mereka pada umumnya berasal dari kelas menengah atas Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri. Misalnya, Denny Sabri yang pernah malang melintang di Jerman dan Amerika Serikat serta Peter Basuki di Belanda. Di luar negeri, mereka tertarik dengan dunia musik pertunjukan dan mulai masuk lingkaran orang-orang dalam industri musik panggung.
Kedua orang itulah yang kemudian berhasil mendatangkan super grup rock saat itu, Deep Purple, ke Indonesia pada 4-5 Desember 1975. Pertunjukan yang mereka hadirkan adalah suatu peristiwa paling fenomenal dalam industri musik panggung di Indonesia. Cerita sukses kedatangan Deep Purple bergaung lama, hal itu disebabkan liputan yang sangat luas dari media massa. Terutama majalah Aktuil yang saat itu menjadi “panduan” para pecinta musik Indonesia. Jumlah penonton yang spektakuler untuk saat itu (sekitar 30.000 orang), kerusuhan yang terjadi hari kedua pertunjukan, kematian salah seorang kru Deep Purple yang jatuh dari hotel tempatnya menginap, serta kematian petugas pengaman saat pertunjukan berlangsung menjadi pembicaraan yang tak habis-habisnya.
Meskipun harus menanggung kerugian yang diakibatkan pembakaran-pembakaran oleh penonton yang terjadi di sekitar stadiun pertunjukan tersebut dapat dikatakan sukses. Denny Sabri dan Peter Basuki mendapat keuntungan. finansial yang besar. Padahal saat itu mereka tidak menggunakan sponsor. Selain laporan hangar binger pementasan, masalah “dapur” ini juga mendapat sorotan berbagai media massa seperti Break Event Point nya modal yang mencapai tujuhpuluh juta rupiah, jumlah bayaran artis, dan jumlah keuntungan yang didapat oleh promotor. Sisi-sisi bisnis mulai dibahas secara terbuka.
Meskipun kesuksesan Deep Purple bukan faktor tunggal yang menentukan pertumbuhan industri musik panggung, tetapi tidak dapat disangkal bahwa dari peristiwa tersebut masyarakat menjadi lebih terbuka bahwa bisnis musik panggung yang mendatangkan artis asing sangat menguntungkan. Meskipun disadari juga banyak resikonya, seperti kerusuhan.
Gelombang pasang artis asing ke Indonesia terjadi pada tahun 1980-an, sama seperti promotor tahun 1970-an, kebanyakan promotor nasional musik panggung adalah mereka yang terdiri dari anak-anak muda yang termasuk kelas menengah atas. Luasnya jaringan yang mereka miliki membuka akses terhadap artis dan sponsor. Penggunaan sponsor dalam musik panggung yang mendatangkan artis asing semakin marak sejak tahun 1980-an. Hal itu disebabkan pertunjukan musik merupakan media yang efektif untuk beriklan. Alasannya adalah jumlah penonton dalam setiap pertunjukan, kelas sosial penonton yang bisa dilihat dari tingginya harga tiket yang dijual, dan anak muda sebagai konsumen yang potensial.
Keberhasilan pementasan musik panggung di Indonesia selama pertengahan tahun 1980-an tidak lepas dari perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang-barang untuk konsumsi golongan muda. Sponsor terbesar dalam setiap pementasan musik di Indonesia adalah perusahaan rokok. Ketergantung pada sponsor dalam mementaskan artis asing disebabkan pembayaran artis menggunakan dollar Amerika, sehingga harga tiket menjadi tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Manfaat sponsor adalah menyubsidi harga tiket yang harus ditanggung penonton. Harga tiket penonton tidak dapat menutupi biaya produksi.
Perkembangan industri musik panggung sejak pertengahan 1980-an telah berkembang dengan baik. Pada era tersebut sampai menjelang reformasi artis-artis asing kelas dunia telah dihadirkan oleh promotor Indonesia. Sejak era reformasi sampai tahun 2006-an dapat dikatakan industri musik panggung yang menampilkan artis asing sedang tiarap. Hal itu lebih karena alasan kondisi keamanan yang membuat artis asing berpikir duakali untuk mentas di Indonesia. Bukan faktor ekonomi, karena kelas menengah atas tetap memadati setiap pementasan. Semoga kehadiran artis asing dapat membangkitkan kembali industri musik panggung Indonesia. Akan tetapi, kita tentu akan lebih gembira bila promotor Indonesia menjadikan artis Indonesia sebagai artis asing di luar negeri.
by:
Muhammad Mulyadi
Peneliti Sejarah Industri Musik, dosen Jurusan Sejarah Unpad