Tidak pernah dinyatakan oleh pemerintah bahwa Indonesia telah mengekspor musik ke berbagai negara, atau akan mengadakan program khusus untuk meningkatkan angka ekspor musik. Seperti menggenjot produk ekspor nonmigas lainnya. Mungkin ekspor alat musik sudah kita dengar. Tetapi mengenai ekspor musik rasanya tidak pernah kita dengar. Lalu apa pengertian mengekspor musik? Pengertian ekspor sama dengan pengertian ekspor pada umumnya, yaitu menjual sesuatu kepada negara lain. Sedangkan pengertian mengekspor musik adalah
menjual musik ke negara lain. Lebih lanjut wujud musik yang diekspor dapat berupa produk industri musik seperti kaset, cd, atau vcd. Bisa juga hanya dalam wujud lagu dan musiknya saja yang dijual. Artinya, hak cipta nya saja yang dijual. Baik untuk kepentingan iklan, film, atau bentuk aplikasi lainnya seperti pada komputer dan ringtone hp. Di samping itu pengertian ekspor musik juga mencakup menampilkan para musisi dan penyanyi di panggung-panggung pertunjukan ke berbagai negara.
Kenapa harus mengekspor?
Dilihat dari sudut sejarah, musik di Indonesia pada era Sukarno lebih mewujud sebagai alat politik. Pada era Sukarno inilah akar kecintaan akan musik nasional diwujudkan. Dengan akar nasional yang kuat tersebut, maka di era Suharto yang mengutamakan pembangunan ekonomi musik Indonesia sebagai industri menampakkan wujudnya. Akan tetapi, dalam rentang waktu yang panjang tersebut, ternyata industri musik Indonesia hanya ditujukan untuk pasar dalam negeri saja. Pemikiran untuk mengekspor musik sebagai suatu program pemerintah tidak pernah dicetuskan. Kalaupun ada, itu hanya merupakan cita-cita individu penyanyi dan musisi saja. Bukan suatu cita-cita kolektif masyarakat Indonesia yang dipandu oleh pemerintah.
Sejak beberapa tahun yang lalu, ketika royalti atas hak cipta mulai dijalankan di Indonesia melalui YKCI, kondisi pasar industri musik dalam negeri menunjukkan posisi neraca pasar yang tidak seimbang. Indonesia lebih banyak membeli daripada menjual. Artinya peminat musik di Indonesia lebih banyak membeli lagu produk Asing (terutama Barat) daripada produk dalam negeri. Jangan dibandingkan dengan produk bajakan. YKCI sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi royalti musik di Indonesia lebih banyak membayar royalti untuk lagu-lagu asing daripada untuk lagu Indonesia. Demikian pula dengan musik panggung, lebih banyak mendatangkan musisi asing daripada membawa musisi Indonesia ke luar negeri. Dalam hal ini industri musik Indonesia mengalami capital lose, bukan capital gain. Posisi ini tidak menguntungkan secara ekonomi. Mengapa kita harus mengeluarkan atau bahkan “menyumbang” musik negara-negara maju?
Pemerintah harus mempunyai inisiatif untuk mendorong terciptanya ekspor industri musik, selain menciptakan industri musik di dalam negeri yang kondusif. Peran serta pemerintah sebagai pendorong dan pelindung industri musik telah dicontohkan oleh beberapa negara. Misalnya, dua Presiden Amerika yang pernah berkunjung ke Indonesia ternyata mengagendakan musik dalam kunjungannya. Pertama kunjungan Ronald Reagan pada tahun 1984. Dalam kunjungannya tersebut dibicarakan masalah hak cipta dengan presiden Suharto, agar Indonesia bisa melindungi hak cipta. Salah satunya adalah melindungi hak cipta dalam industri musik. Hal itu mencuat ketika salah satu perusahaan rekaman di Indonesia telah membajak kaset Bob Geldof yang diproduksi dalam rangka pengumpulan dana bagi kelaparan yang terjadi di Ethopia. Kedua tahun 1994 ketika Bill Clinton menginginkan agar Indonesia membuka pasar musiknya bagi invesitasi asing. Beberapa lama setelah kunjungan Bill Clinton berdirilah recording company asing yang digolongkan sebagai the big five di Indonesia.
Pemerintah Amerika merasa perlu secara khusus melindungi industri budaya nya. Karena dari industri budaya, yang antara lain terdiri dari industri musik, film, televisi, kaset, cd, buku, dan software, telah menyumbangkan US$1,38 triliun atau 11,12% dari GDP Amerika Serikat di tahun 2005. Diperkirakan sebanyak 11,3 juta masyarakat Amerika bekerja dalam bidang industri budaya termasuk musik. Contoh lainnya dapat dilihat dari pemerintah Malaysia, selama ini mereka ternyata bukan hanya “mengancam” wilayah-wilayah perbatasan saja. Tetapi juga menebar ancaman terhadap pasar industri budaya Indonesia. Semakin derasnya dominasi musisi Indonesia di Malaysia adalah wacana-wacana yang sering dibahas oleh media cetak di Malaysia. Wacana tersebut sering berujung pada dua persoalan. Pertama, bagaimana mereka bisa menghentikan dominasi tersebut? Kedua, bagaimana industri musik mereka dapat berekspansi ke pasar internasional, terutama ke Indonesia. Indonesia menjadi target pasar industri musik yang paling realistis bagi Malaysia. Selain jumlah penduduknya juga alasan rumpun budaya.
Hal itu semakin jelas ketika Wakil Perdana Menteri Malaysia, Nazib Razak, berkunjung ke Jakarta November tahun lalu. Dalam salah satu pernyataannya Nazib meminta Indonesia untuk membuka pasar bagi industri budaya (musik dan film) Malaysia. Meskipun tidak secara jelas apa yang dimaksud dengan membuka pasar industri budaya tersebut. Karena selama ini Indonesia “sangat terbuka” untuk produk-produk industri budaya dari negara lain. Apabila pemerintah negara lain secara ekonomi sudah menyadari arti penting musik sebagai industri yang harus didukung, dilindungi bahkan dapat diekspor, maka kenapa pemerintah Indonesia belum juga menyadarinya? Padahal dari sudut ekonomi, pada tahun 1994 industri musik pernah tercatat sebagai pembayar pajak terbesar bagi negara.
Dalam bingkai budaya perlunya mengekspor musik sebenarnya berkaitan dengan upaya mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan nasional. Dalam kebijakan kebudayaan di masa orba, kita lebih disibukan untuk menyaring kebudayaan asing. Sehingga kita lupa untuk merancang suatu ekspansi budaya. Atau perluasan pengaruh kebudayaan Indonesia ke negara-negara lain. Ekspansi budaya nampaknya dianggap bukan suatu kepentingan yang mendesak. Padahal, kalau meminjam idiom sepak bola, pertahanan yang terbaik adalah dengan menyerang. Terbukti dengan datangnya era globalisasi ketahanan budaya Indonesia kewalahan menghadapi serangan asing. Sebagai dampaknya Indonesia semakin terbuka sebagai pasar industri musik bagi negara lain. Tidak hanya musik Barat, tetapi juga musik dari Jepang, Cina, dan Korea. Masuknya musik-musik tersebut ke Indonesia seiring dengan perkembangan budaya populer mereka seperti J-Pop, K-Pop, dan C-Pop. Masuknya produk budaya-budaya asing sering dipandang sebagai gejala yang lumrah dalam perdagangan global. Akan tetapi, sebenarnya hal ini akan menyebabkan ongkos budaya yang terlalu mahal. Karena akan menjadikan bangsa Indonesia miskin daya cipta. Generasi muda akan disibukan oleh peniruan-peniruan budaya asing yang berkembang di Indonesia. Contohnya sudah terjadi dalam industri sinetron di Indonesia. Pada akhirnya miskinnya daya cipta juga berhubungan timbal balik dengan kurang percaya diri kita sebagai sebuah bangsa. Kondisinya akan berbeda apabila Indonesia dapat meluaskan pengaruh budayanya ke berbagai negara.
Peluang dan Tantangan
Sampai saat ini industri musik Indonesia memang telah dapat diterima di berbagai negara. Ikatan budaya, terutama bahasa, merupakan alasan utama diterimanya musik Indonesia di beberapa negara seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Malaysia dan Singapura sejak tahun 1960-an telah menjadi cikal bakal pasar bagi industri musik Indonesia.
Selain musik berbahasa Indonesia, beberapa musik daerah pun sebenarnya telah memiliki pasar tersendiri di luar negeri. Pop Jawa mempunyai pasar di Suriname, Belanda, dan Malaysia (Johor). Hal itu telah dimulai sejak era Favorites Group dan Ervina pada tahun 1970-an, kemudian Didi Kempot dan Sony Joss pada tahun 2000-an. Pop Minang dan pop Dayak Iban juga mempunyai pasar tersendiri di Malaysia. Wilayah negeri sembilan adalah pasar utama pop Minang dengan bintangnya Tiar Ramon dari Sumatera Barat. Sementara pop Iban mempunyai wilayah pemasaran Serawak.
Mengenai jenis musik lainnya yang telah mempunyai pasar di luar negeri adalah jenis musik tradisi. Musik jenis ini tidak terbatas dengan wilayah dan tidak ada hambatan bahasa. Tetapi mempunyai peminat terbatas (peminat khusus). Jenis musik tradisi yang banyak diminati oleh peminat dari luar negeri adalah jenis musik tradisi dari Jawa, Bali, Batak, Minang, dan Sunda. Kekayaan musik tradisi Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadi produk industri budaya yang dapat diekspor. Meskipun dikatakan peminatnya terbatas, tetapi jumlah peminatnya mencakup dunia. Bukan wilayah Indonesia lagi, sehingga secara kuantitas angka penjualannya sering menyamai angka-angka penjualan musisi-musisi pop di dalam negeri. Bahkan dari segi pembayaran royalti musisi musik tradisi dapat menerima jumlah yang lebih besar.
Tantangan terbesar industri musik Indonesia saat ini adalah meluaskan pasar musik ke berbagai manca negara. Suatu hal yang sering luput dari kesuksesan Indonesia menciptakan pasar di Malaysia adalah adanya fakta sejarah bahwa Indonesia sebenarnya menciptakan kondisi tersebut. Terlepas diisengaja atau tidak disengaja. Penciptaan pasar tersebut adalah ketika awal tahun 1960-an RRI meminjamkan 50% lebih koleksi lagu-lagunya ke Radio dan Televisien Malaysia (RTM). Dengan sering diputarnya lagu-lagu Indonesia di Malaysia maka terbiasa pula bagi masyarakat Malaysia untuk mendengarkan musik Indonesia. Hal itu menjadi music habit bagi masyarakat Malaysia. Fakta inilah yang sebenarnya menjadi fondasi dan dapat menjelaskan bagaimana musik Indonesia diterima oleh masyarakat Malaysia.
Dalam kondisi sekarang perlu dipikirkan kembali untuk menciptakan dan mengembangkan pasar Industri musik. Belajar dari kesuksesan di Malaysia, nampaknya music habit perlu dipertimbangkan sebagai jalan masuk industri musik ke suatu negara. Peluang tersebut nampaknya dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang mempunyai akses ke luar negeri.
Siapa yang dapat diharapkan menjadi agent untuk berkembangnya musik Indonesia ke luar negeri melalui music habit tersebut? Pertama adalah para orang Indonesia yang belajar di luar negeri. Melalui akses internet dan pesta budaya dan persentuhan yang insten dengan masyarakat tempat dia belajar, mereka diharapkan dapat memperkenalkan lagu-lagu Indonesia.
Kedua, adalah para TKI. Dalam kasus di Malaysia para TKI, khususnya yang bekerja di sektor rumah tangga, telah “menyumbangkan” beberapa kosa kata kepada bahasa Malaysia. Seperti pipis, bobo, dan mimi. Artinya, mereka telah menyebarluaskan salah satu budaya Indonesia ke luar. Demikian juga dengan musik, mereka yang bekerja di Malaysia, Singapura, dan Brunei sering mendengarkan lagu-lagu Indonesia melalui radio setempat. Hal ini berpengaruh bagi anak-anak yang mereka asuh. Sehingga dengan proses music habit sampai sekarang masih banyak masyarakat di ketiga negara tersebut menyukai lagu-lagu berbahasa Indonesia.
Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah bahwa pengaruh budaya tidak berjalan lurus satu arah. Selalu terjadi saling mempengaruhi, oleh sebab itu selain membawa lagu-lagu Indonesia ke luar negeri tidak jarang justru para pelajar dari luar negeri maupun TKI yang membawa lagu-lagu asing ke Indonesia. Sehingga bermunculan lah di Indonesia radio-radio yang secara tetap menyiarkan lagu-lagu Malaysia. Terutama di pedesaaan.
Meskipun demikian nampaknya masih ada peluang bagi para pelajar Indonesia dan TKI untuk menjadi agent perluasan pasar industri musik ke luar negeri. Perlu dilakukan penelitian mendalam di berbagai negara lainnya di tempat TKI bekerja, apakah TKI dapat menjadi agent perluasan pengaruh musik Indonesia ke luar atau bahkan sebaliknya? Kemudian desain budaya yang seperti apa agar para pelajar dan TKI dapat menjadi agent perluasan pengaruh musik Indonesia.
Selain pemerintah, produser rekaman dan promotor pertunjukkan di Indonesia pun harus tertantang untuk menciptakan pasar ke luar negeri. Jangan jago kandang. Apakah para produser rekaman dan promotor Indonesia mampu untuk menjual produk dan musisi Indonesia ke berbagai negara? Tidak hanya ke negara-negara tetangga terdekat. Sehingga akan muncul Ina-Pop (Indonesia Pop) dalam peta budaya populer di dunia.
R. Muhammad Mulyadi.S.S.,M.Hum. Pemerhati Industri Musik. Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.